Karamah menurut
bahasa/lughoh memiliki arti kemuliaan. Pengertian karamah menurut Syaikh
Ibrahim al-Bajuri dalam kitabnya Tuhfatul Murid, bahwa karamah adalah sesuatu
luar biasa yang tampak dari kekuasaan seorang hamba yang telah jelas
kebaikannya yang ditetapkan karena adanya ketekunan di dalam mengikuti syariat
nabi dan mempunyai i’tiqad yang benar. Menurut Hakim at-Tirmidzi, adapun yang
dimaksud karamah auliya tiada lain adalah kemuliaan, kehormatan, penghargaan,
dan persahabatan yang dimiliki para wali Allah berkat penghargaan, kecintaan
dan pertolongan Allah kepada mereka. Dengan demikian, karamah auliya itu dalam
pandangan Hakim at-Tirmidzi, merupakan salah satu ciri para wali secara
lahiriah yang juga dinamakannya “tanda-tanda”.
Hakim at-Tirmidzi lebih lanjut membagi karamat
al-awliya ke dalam dua bagian. Pertama, karamah yang bersifat ma‘nawi atau
al-karamat al-ma‘nawiyyah. Karamah yang pertama merupakan sesuatu yang
bertentangan dengan adat kebiasaan secara fisik-inderawi, seperti kemampuan
seseorang unrtuk berjalan di atas air atau berjalan di udara. Sedangkan karamah
yang kedua merupakan ke-istiqamah-an seorang hamba di dalam menjalin hubungan
dengan Allah, baik secara lahiriah maupun secara batiniah yang menyebabkan
hijab tersingkap dari kalbunya hingga ia mengenal kekasihnya, serta merasa
ketentraman dengan Allah.
At-Tirmidzi memaparkan karamah yang kedua sebagai yang
berikut:
“Kemudian Tuhan memandang wali Allah dengan pandangan
rahmat. Maka Tuhan pun dari perbendaharaan rububiyyah menaburkan karamah yang
bersifat khusus kepadanya sehingga ia (wali Allah) itu berada pada maqam
hakikat kehambaan (al-haqiqah al-ubudiyyah). Kemudian Tuhan pun mendekatkan
kepada-Nya, memanggilnya, menghormati dan meninggikannya. Menyayanginya dan
menyerunya. Maka wali pun menghampiri Tuhan ketika ia mendengar seru-Nya.
Mengokohkan (posisi)-nya dan menguatkannya; memelihara dan menolongnya;
sehingga ia meresponi dan menyambut seruan-Nya. Dalam kesunyian ia
memanggil-Nya. Setiap saat ia munajat kepada-Nya. Ia pun memanggil kekasihnya.
Ia tidak mengenal Tuhan selain Allah.”
Demikianlah sekilas mengenai perilah karamah. Dari
penjelasan di atas kiranya dapat kita tarik kesimpulan bahwa karamah merupakan
sesuatu perkara yang terjadi di luar kemampuan akal manusia biasa untuk
memikirkan atau menciptakan perkara itu (karamah) diberikan Allah kepada
hambanya yang sudah terang kebaikannya, setiap sikap perbuatan dan ucapannya
serta keadaan hatinya selalu bergerak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam yang
dibawa oleh Rasulullah baik dalam segi syariat atau aqidah serta akhlaknya.
Adapun karamah yang dimiliki oleh Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani merupakan tanda-tanda kewalian beliau, sehingga para ulama dan
syaikh yang agung dan mengetahui dengan pasti derajat kewalian beliau tersebut
senantiasa memuji dan mengagungkan sosok Syaikh Abdul Qadir al-Jailani serta
sangat menjaga sopan santun ketika berada di majelisnya. Sikap mereka yang
demikian itu karena mengingat bahwa beliau merupakan waliyullah yang memiliki
derajat yang sangat tinggi di sisi-Nya. Dalam ketinggian derajatnya tersebut,
selain sebagai panutan, sosok Syaikh Abdul Qadir juga berperan penting dalam
membantu membangun keimanan dan ketakwaan para hamba Allah. Beliau tidak
sedikitpun membiarkan murid-murid beliau “terlantar” dalam kehidupannya di
dunia terlebih di akherat.
Dalam penjelasannya mengenai keajaiban dan keramat,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam Sirrul Asrar juga telah menjelaskan, bahwa
karamah merupakan perkara luar biasa yang berada di luar adat kebiasaan. Namun
demikian, seorang sufi yang memiliki karamah bukan berarti ia telah lepas dari
ujian yang diberikan oleh Allah. ia masih mendapatkan berbagai ujian dan tidak
menutup kemungkinan ia bisa terjerumus ke dalam lembah syirik, dan dosa besar,
apabila ia tidak segera mengembalikan kejadian keramat itu kepada Allah. syaikh
Abdul Qadir juga menjelaskan, bahwa kebanyakan para sufi yang diuji dengan
ujian karamah ini, akan banyak bersikap tidak sabar, sombong, dan pada akhirnya
menjadi lupa bahwa dirinya telah berada di dalam jerat setan yang terkutuk.
Demikianlah, pada akhirnya Syaih Abdul Qadir tetap menasehati kepada para ahli
karamah agar senantiasa berhati-hati terhadap kelebihan dan nikmat besar yang
telah diberikan oleh Allah kepada dirinya tersebut.
Di antara kisah-kisah karamah Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Syaikh Ali Ghartsani yang
mengatakan, bahwa Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku bertanya kepada malaikat
penjaga neraka, Apakah ada sahabatku (murid) di dalam neraka ?”
“Tidak seorang pun,” Jawab sang malaikat.
“Demi keagungan Allah, hubunganku dengan para muridku
bagaikan langit dan bumi. Jika para muridku tidak bagus, maka aku bagus. Demi
keagungan Allah, aku tidak akan mengangkat kakiku dari hadapan Allah di hari kiamat,
hingga dia memasukkan aku dan para muridku ke surga.”
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang menyebut
namamu namun tidak mengambil bai’at darimu. Apakah dia termasuk muridmu ?”
Tanya seseorang kepada beliau. Beliau ,menjawab, “Siapapun yang menyebut namaku
atau menisbatkan sesuatu kepadaku maka Allah akan mengkatagorikannya sebagai
muridku, walaupun penyebutan dan penisbatan tersebut dilakukan dengan
kebencian”.
“Orang Muslim yang lewat di depan pintu madrasahku
akan diringankan Allah Azab hari akhir”, demikian yang dikatakan Syaikh Abdul
Qadir. Kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau dan berkata, “Tuanku,
tadi malam aku bertemu dengan ayahku yang sudah meninggal dalam mimpi dan ia
berkata kepadaku bahwa dia di azab di dalam kuburnya. Dia memintaku untuk
menemui anda dan memintakan do’a untuknya”.
“Pernahkah ayahmu lewat di depan pintu madrasahku ?”
Tanya sang Syaikh
“pernah,” Jawabnya.
Beberapa hari kemudian pria tersebut kembali menghadap
sang Syaikh dan berkata,”Tuanku, tadi malam aku bermimpi bertemu dengan ayahku.
Kali ini ia tertawa, memakai pakaian berwarna hijau dan berkata kepadaku, “Azab
kuburku telah diangkat berkat berkah Syaikh Abdul Qadir. Karena itu hendaknya
engkau selalu mengikutinya.”
Mendengar penuturan tersebut Syaikh Abdul Qadir
berkata, “Allah telah memberikan janjinya kepadaku untuk meringankan azab
setiap muuslim yang lewat di depan pintu madrasahku.”
Demikianlah, para sejarawan bersepakat tentang sosok
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai seorang waliyullah yang memiliki banyak
karamah. Mengenai hal ini pula, Syaikh Muwafiquddin, penulis kitab al-Mughni
berkata, “Tidak kudengar dari siapa pun yang bercerita tentang kekeramatan yang
begitu banyak, sebagaimana cerita tentang kekeramatan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.”
Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam juga berkata,
“Sesungguhnya tiada kekeramatan dari beberapa masyayikh (guru), kecuali
kekeramatan yang dimiliki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, karena karamah beliau
itu mengalir secara estafet.”
Dalam suatu riwayat, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mendengar suara teriakan dari dalam sebuah kubur di pekuburan Bab
Al-Azaj.
Beliau berkata kepada si mayit, “Apakah engkau pernah
ber-bai’at kepadaku?”
“Tidak” jawabnya.
“Apakah engkau pernah menjadi makmumku ?” Tanya
beliau.
“Tidak” jawabnya.
Beliau berkata, “Orang-orang yang berlebih-lebihan
memang pantas mendapatkan kerugian.”
Setelah itu beliau menundukkan kepalanya sejanak lalu
dengan pancaran karisma yang luar biasa beliau mengangkat kepala seraya
berkata, “Malaikat berkata kepadaku bahawa dia melihat wajahmu dan berbaik
sangka kepadamu dan dengan berkahmu, Allah merahmatinya.” Setelah itu beliau
tidak lagi mendengar pekikan dari kubur tersebut.
Diriwayatkan, bahwa suatu hari ada tiga orang guru
dari negeri Jilan yang datang kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Sewaktu
masuk ke rumah beliau, mereka melihat kendi yang tidak menghadap ke kiblat dan
seorang pelayan berada di sisi beliau. Kemudian mereka saling berpandangan
seperti menunjukkan sikap tidak senang kepada beliau sebab kendi tersebut tidak
menghadap ke kiblat dan seorang pelayan tadi masih tetap di sisi beliau. Maka
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani meletakkan kitab yang ada di tangannya, sekali
waktu beliau memandang mereka dan sekali waktu beliau memandang ke pelayan,
seketika itu juga pelayan tadi mati, kemudian beliau memandang ke arah kendi
dan kendi itu pun berputar sendiri menghadap ke kiblat.”
Dikisahkan pula, bahwa pada suatu saat pernah terjadi
Syekh Abdul Qadir al-Jailani berjalan-jalan, lalu menjumpai dua orang yang
sedang berdebat keras. Yang satu orang Islam, yang satunya orang Kristen.
Syaikh Abdul Qadir ingin mengetahui masalahnya. Kemudian orang Islam itu
menjelaskan, orang Nasrani yang berdebat dengannya itu namanya adalah Al-Isuwi,
dia mengatakan bahwa nabinya lebih utama dari nabi kita Muhammad. Lalu Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani ingin mengetahui buktinya dari orang Nasrani tadi. Orang
Nasrani menerangkan bahwa nabinya, yaitu nabi Isa, bisa menghidupkan orang yang
telah mati. Kemudian Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjawab, “Saya ini bukannya
nabi, tapi saya adalah umatnya yang setia mengikuti ajarannya. Bagaimanakah
nanti kalau saya bisa menghidupkan orang mati dengan seizin Allah sebagaimana
nabi Isa, apakah kamu beriman kepada nabi Muhammad?”
Orang Nasrani dengan tegas menjawab, “Ya, Saya akan
beriman kepada nabi Muhammad.”
Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada
orang Nasrani itu. “Sekarang mari tunjukkan kepada saya makam yang sudah
lama.”
Lalu orang Nasrani itu
menunjukkannya.
Setelah sampai di kuburan yang ditujunya, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani bertanya kembali pada orang Nasrani itu, “Dengan kalimat apa
nabi Isa menghidupkan orang yang sudah mati?”
Orang Nasrani itu menjawabnya, “Wahai orang yang telah
mati, dengan izin Allah hiduplah kamu sekarang. Begitulah yang diucapkan oleh
nabiku Isa bila menghidupkan orang yang sudah mati.”
Sebelum Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memohon kepada
Allah agar Allah menghidupkan orang yang sudah mati tersebut, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani memberitahukan kepada orang Nasrani itu bahwa kuburan ini
adalah kuburannya orang yang ahli menyanyi, maka saksikanlah orang ini nanti
keluar dari kuburnya akan menyanyi. Benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Setelah memohon kepada Allah agar mayit itu dihidupkan
kembali dengan menyanyi sesuai dengan apa yang dimintanya. Lalu Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menghadap ke kuburan tersebut, tiba-tiba pecahlah kuburan itu
dan keluarlah orangnya dengan menyanyi sungguhan. Setelah orang Nasrani itu
menyaksikan karamahnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan keutamaan nabi
Muhammad, ia pun menyatakan diri masuk ke dalam agama Islam di hadapan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani.
Syaikh Abu Najib Abdul Qahir As-Sahrawardi bercerita
bahwa pada setiap malam selalu terdengar suara dengungan seperti dengungan
lebah dari Syaikh Hammad Ad-Dabbas. Peristiwa tersebut diadukan oleh salah
seorang muridnya kepada Syaikh Abdul Qadir dan meminta beliau untuk menanyakan
hal tersebut kepada Syaikh Hammad (saat beliau masih berguru kepada Syaikh
Hammad, tahun 508 H). Ketika Syaikh Abdul Qadir menanyakan hal tersebut kepada
Syaikh Hammad, beliau menjawab “Aku memiliki 12.000 murid dan setiap malam aku
menyebut nama mereka satu persatu. Aku memohonkan kepada Allah hajat mereka dan
agar mereka tidak melaksanakan maksiyat yang direncanakannya serta karena
takutnya lalu bertaubat kepada Allah”.
Mendengar jawaban itu Syaikh Abdul Qadir berkata,
“Andai saja Allah menganugerahkan kepadaku kedudukan di sisi-Nya aku akan
meminta Allah bersumpah agar semua muridku hingga hari kiamat meninggal dalam
keadaan bertaubat dengan aku sebagai jaminan mereka.”
Syaikh Hammad berkata, “Aku bersaksi bahwa Allah
memberikan apa yang dia minta dan membentangkan bayang ke-Agungan-Nya kepada
mereka semua”.
Syaikh Abdullah al-Jaba’i meriwayatkan salah seorang
murid Syaikh Abdul Qadir yang bernama Umar al-Halawi pergi selama
bertahun-tahun. Ketika pulang beliau menanyakan ke mana kepergiannya selama
ini. Umar al-Halawi berkata kepada Syaikh Abdullah ad-Dabbas, Aku mengelilingi
Mesir hingga Maghrib dan aku berjumpa dengan 360 Wali Allah, mereka semua
berkata “Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah Syaikh dan pemimpin kami.”
Diriwayatkan, bahwa suatu hari seorang pedagang
bernama Abul Mudhoffar Hasan bin Tamimin al-Baghdadi datang kepada Syaikh
Hammad bin Muslim bin Darwah ad-Dabbasi pada tahun 521 hijriyah dan berkata
kepadanya, “Wahai junjunganku, aku telah mempersiapkan kafilah yang membawa
dagangan sebanyak tujuh ratus dinar ke negeri Syam.”
Syaikh Hammad kemudian berkata, “Jika kamu pergi pada
tahun ini, kamu akan terbunuh dan daganganmu akan dirampas.”
Abul Mudhoffar pun meninggalkan Syaikh hammad dengan
perasaan sedih. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani yang pada waktu itu masih berusia muda. Abul Mudhoffar menceritakan
apa yang dikatakan oleh Syaikh Hammad kepadanya.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata
kepadanya, “Pergilah, maka kamu akan selamat dan kembali akan membawa
keberuntungan, urusan itu akulah yang bertanggung jawab.”
Akhirnya, Abul Mudhoffar pergi ke Syam dan ternyata ia
dapat menjual dagangannya dengan harga seribu dinar. Pada suatu hari Abul
Mudhoffar peri ke kamar kecil dan ketika keluar ia lupa dengan uangnya.
Sesampainya di rumah, ia mengantuk dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi
berada di dalam satu kafilah yang kemudian didatangi orang Arab Baduwi yang
merampas hartanya dan membunuh semua orang yang ada dalam kafilah tersebut. Di
antara Arab Baduwi itu ada yang mendatanginya dan memukul dengan pedang serta
membunuhnya. Maka ia terbangun dengan gemetar ketakutan dan menemukan bekas
darah di lehernya dan ia merasa sakit. Setelah ia ingat, uangany sebanyak
seribu dinar tertinggal, maka ia cepat-cepat bangun dan pergi ke kamar mandi.
Rupanya uang tersebut masih ada di tempat semula dengan selamat.
Ia berkata dalam hati, “Kalau aku berkunjung kepada
Syaikh hammad lebih dahulu, karena beliau lebih tua dan kalau kepada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani karena benar kata-katanya.”
Sewaktu ia sedang berfikir demikian, Syaikh Hammad
menemuinya dan berkata kepadanya, “Wahai Abul Mudhoffar, mulailah kamu berkunjung
kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, karena ia dicintai Allah dan sesungguhnya
beliau memohon kepada Allah untukmu sebanyak tujuh belas kali, sehingga
kepastian matimu yang sebenarnya berubah hanya kamu rasakan dalam mimpi dan
kepastian fakir yang sebenarnya berubah hanya karena lupa saja. Kemudian Abul
Mudhoffar berkunjung ke Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, maka beliau berkata,
“Syaikh Hammad telah mengatakan kepadamu bahwa aku berdoa kepada Allah untukmu
tujuh belas kali. Demi kemuliaan yang disembah (Allah), sesungguhnya saya
memohon kepada Allah untukmu tujuh belas kali dan tujuh belas kali lagi sampai
jumlah seluruhnya tujuh puluh kali, sehingga terjadi seperti apa yang dikatakan
Syaikh Hammad.”
Diriwayatkan, bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
apabila selesai shalat Isya, beliau masuk ke kamar pribadi. Tidak seorang pun
dapat masuk dan membukanya, beliau tidak akan keluar sebelum terbit fajar. Raja
baghdad yang sudah berkali-kali datang dengan maksud ingin bertemu dengan
beliau pada malam hari, tidak juga dapat bertemu. Syaikh Ibnu Abdul fattah
berkata, “Pernah saya bermalam semalam di rumah beliau, maka saya melihat
beliau shalat sunnah sebentar pada permulaan malam, kemudian berdzikir kepada
Allah sampai melewati sepertiga dari permulaan malam. Kemudian beliau membawa
asma’ a’dham yaitu, al-Muhitu, ar-Rabbu, asy-Syahiidu, al-Hasiibu, al-Fa’aalu,
al-Khallaaqu, al-Khaaliqu, al-Baariu, al-Mushawwiru. Dan naik ke angkasa sampai
hilang dari pandanganku. Setelah kembali ke kamarnya, beliau shalat, berdiri di
atas kedua kakinya serta membaca al-Quran sampai habis waktu sepertiga malam
yang kedua. Di dalam shalat, beliau sangat memanjangkan sujudnya, kemudian
duduk menghadapkan jiwanya ke hadirat Allah, muraqabah kepada-Nya sampai terbit
fajar. Kemudian memohon dengan berdoa kepada Allah disertai sifat rendah dan
hina hingga beliau tertutup penuh oleh cahaya terang yang menyilaukan pandangan
mata, sampai beliau tidak terlihat karena tertutup oleh cahaya tersebut.
Kemudian saya mendengar di sampingnya ada yang mengucapkan salam, “Salaamun
‘Alaikum.”. Syaikh Abdul Qadir kemudian menjawab, “Wa’alaikumussalam”, demikian
secara bergantian setiap satu ucapan salam selalu beliau jawab. Yang demikian
itu terjadi sampai beliau mengerjakan shalat subuh.”
Diriwayatkan, bahwa suatu hari ada seorang perempuan
datang kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dengan membawa putranya untuk
diserahkan kepada beliau agar menjadi santrinya dan belajar ilmu suluk.
Kemudian beliau menyuruh sang putra itu untuk memerangi nafsunya serta
menjalankan ibadah sebagaimana dilakukan oleh ulama-ulama salaf. Suatu hari,
ibunya datang menghadap beliau. Dilihatnya anaknya menjadi kurus dan dilihatnya
ia sedang makan roti. Kemudian ibunya tersebut pergi ke kamar Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani dan ia melihat tulang-tulang ayam dari sisa makanan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Lalu ibu tadi menanyakan arti semua itu. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani kemudian meletakkan tangannya di atas tulang-tulang tadi
sambil berkata kepadanya, “Berdirilah dengan izin Allah yang menghidupkan
tulang-tulang yang hancur. Maka berdirilah tulang-tulang itu kembali menjadi
ayam dan berkokok, “Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rasuulullaah Syaikh Abdul
Qadir Waliyullaah.” Kemudian beliau berkata kepada si ibu, “Kalau anakmu sudah
dapat berbuat seperti ini, ia boleh makan sekehendaknya.”
Diriwayatkan, bahwa suatu hari ada seorang laki-laki
dari kota Asfihan yang datang kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani untuk
mengobati seorang budak perempuannya yang sudah dimerdekakan, yang sering tidak
sadar dan sudah berobat ke mana-mana. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kemudian
berkata, “Budakmu ini diganggu jin dari Sorondib, namanya jin Khonis. Apabila
ia tidak sadar lagi, bacakan di telinganya, “Hai jin khonis, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani yang tinggal di baghdad mengatakan (kepadamu), “Jangan kembali
(mengganggu lagi), jika kamu kembali, kamu pasti akan binasa.”
Laki-laki itu pulang dan tidak muncul lagi selama dua
puluh tahun lamanya, kemudian ia datang lagi menghadap Syaikh Abdul Qadir
al-jailani, dan setelah ditanya ia menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Syaikh
Abdul Qadir sudah dilaksanakan dan penyakit itu tidak pernah kambuh lagi sampai
sekarang. Sebagian tabib ahli jiwa mengatakan, “Selama kami menetap di Baghdad
selama empat puluh tahun, ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani masih hidup, di
Baghdad tidak pernah terjadi seorang pun yang menderita sakit jiwa, setelah
beliau wafat, berjangkitlah penyakit jiwa itu.”
Diriwayatkan dari Syaikh Abil Abbas Ahmad bin
Muhammadd ibn Ahmad al-Urasyi al-Jily yang menuturkan, bahwa pada suatu hari,
aku telah menghadiri majelis Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berserta
murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar di pangkuan
Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di majlis itu pun berlari tunggang
langgang, ketakutan. Tetapi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani hanya duduk dengan
tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk ke dalam baju Syaikh dan telah
merayap-rayap di badannya. Setelah itu, ular itu telah naik pula ke lehernya.
Namun, Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah keadaan duduknya. Setelah
beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari badan Syaikh dan ia seperti
telah bicara dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Kemudian, ular itu pun pergi
dan menghilang entah kemana.
Kami pun bertanya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
tentang apa yang telah dikatakan oleh ular itu. Menurut beliau ular itu telah
berkata bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak
pernah bertemu dengan seorang pun yang setenang dan sehebat Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani.
Abu Najjar pada Bab pertama kitab Tarikhnya menyatakan
bahwa dia pernah membaca dalam tarikh karangan Abi Suja’ adz-Dzahabi.
dinyatakan bahwa pada saat itu tembok Baghdad mulai dibangun dan tidak ada
seorangpun orang alim yang tidak turut serta dalam pembangunan tersebut beserta
jama’ahnya. Suatu waktu adz-Dzahabi melihat seorang wakil Bab Al-Azj, murid
Syaikh Abdul Qadir, membawa batu di kepalanya sambil menaiki sapi.
Suatu ketika Syaikh Abdul Qadir menghadap Syaikh
Hammad ad-Dabbas lalu kemudian pergi. Sepeninggalnya, Syaikh Hammad berkata,
“Pada waktunya nanti, kaki orang asing ini (Syaikh Abdul Qadir) akan berada di
punggung setiap Wali dan dia akan diperintah oleh Allah untuk mengatakan,
“Kedua kakiku ini ada di punggung setiap wali.” Dan hal tersebut benar-benar
terjadi pada waktunya.
Syaikh Hammad ad-Dabbas bercerita tentang Syaikh Abdul QAdir saat beliau masih menjadi pemuda. Beliau berkata, “Aku melihat ada 2 alam di atas kepalanya, mulai dari alam bawah sampai alam malakut. Aku juga mendengar ada derapan langkah di langit yang mengikutinya”.
Syaikh Hammad ad-Dabbas bercerita tentang Syaikh Abdul QAdir saat beliau masih menjadi pemuda. Beliau berkata, “Aku melihat ada 2 alam di atas kepalanya, mulai dari alam bawah sampai alam malakut. Aku juga mendengar ada derapan langkah di langit yang mengikutinya”.
Diriwayatkan, bahwa suatu hari ada seseorang yang
mengaku bahwa ia pernah melihat Allah dengan kedua matanya. Lalu beliau
bertanya, “Benarkah apa yang dikatakan orang-orang bahwa engkau melihat Allah
dengan matamu?” orang itu menjawab, “Benar.” Mendengar jawaban itu Syaikh Abdul
Qadir melarangnya, seraya membentaknya dan berpesan agar berhati-hati jangan
sampai ucapannya itu diulang kembali. Kemudian beliau menoleh kepada
orang-orang yang hadir yang bertanya kepada beliau. “Benarkah pengakuan seperti
itu wahai syaikh?” Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab, “Ia benar, tetapi
tetap dalam kebimbangan. Sesungguhnya yang melihat nur keindahan Allah itu
adalah mata hatinya, kemudian mata hatinya membius kedua mata kepalanya, mata
kepalanya dapat melihat mata hatinya. Cahaya mata hatinya menyatu dengan cahaya
keindahan Allah, sehingga orang itu berprasangka bahwa mata kepalanya melihat
apa yang sebenarnya dilihat mata hatinya. Sesungguhnya yang dapat melihat
cahaya keindahan Allah hanyalah mata hati, tetapi ia belum mengerti.” Mendengar
jawaban Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tadi, para ulama dan ahli tasawuf gemetar
dan kebingungan.”
Dikisahkan, pada suatu hari, ketika Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani sedang mengajar murid-muridnya di dalam sebuah majelis, seekor
burung telah terbang di udara di atas majlis itu sambil mengeluarkan satu bunyi
yang telah mengganggu majelis itu. Maka Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun
berkata,“Wahai angin, ambil kepala burung itu.”
Seketika itu juga, burung itu jatuh ke atas majelis
itu, dalam keadaan kepalanya telah terputus dari badannya.
Setelah melihat keadaan burung itu, Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu
disambungkan kepala burung itu ke badannya sambil mengucapkan,
“Bismillaahirrahmaanirrahim.” Dengan serta-merta burung tersebut hidup kembali
dan terbang dari tangan Syaikh. Maka takjublah para hadirin di majelis tersebut
melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkan-Nya melalui tangan Syaikh.
Syaikh Mahmud meriwayatkan bahwa ayahnya bercerita,
“Saat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani muda, beliau datang kepada Syaikh Hammad
ad-Dabbas, aku sedang berada di sana. Syaikh Hammad bangkit dari duduknya dan
berkata, “Selamt datang wahai gunung kokoh dan tinggi.” Lalu Syaikh Hammad
mendudukkan Syaikh Abdul Qadir di sisinya. Kemudian beliau bertanya kepada
Syaikh Abdul Qadir, “Apa perbedaan antara hadis dan kalam?”
Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Hadits keluar sebagi
jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan kepadamu. Sedangkan kalam bersumber
dari keinginan yang kuat dalam hati untuk menyampaikan sesuatu.”
Mendengar jawaban tersebut Syaikh Hammad berkata,
“engkaulah Sayyid Al-Arifiin (pemimpin golongan arif) masamu. Panji-panjimu
akan berkibar dari timur ke barat, punggung orang-orang masamu akan membungkuk
di hadapanmu, derajatmu akan ditinggikan oleh para sahabatmu’.
Dikisahkan dalam sebuah riwayat, bahwa pada suatu
hari, seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh sesetengah perawi bahawa
lelaki itu bernama Abu Said Abdullah bin Ahmad bin Ali bin Muhammad
al-Baghdadi) telah datang bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-jailani kemudian
mengabarkan, bahwa dia mempunyai seorang perempuan berumur enam belas tahun
bernama Fatimah. Anak itu telah diculik oleh seorang jin. Maka Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu
tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama
al-Karkh.
“Carilah salah satu tempat di situ, dan duduklah.
Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat
garisan, ucapkanlah Bismillah, dan di atas niat Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin,
dengan berbagai rupa dan bentuk, tapi Janganlah takut. Apabila waktu hampir
terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar.
Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya bahwa akulah yang telah menyuruhmu
datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang
telah menimpa anak perempuanmu itu.
Lelaki itu pun pergi ke tempat yang telah dijelaskan
oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan melaksanakan arahan beliau. Selang
beberapa waktu kemudian, datanglah jin-jin yang berusaha menakut-nakuti lelaki
itu, tetapi jin-jin itu tidak berkuasa untuk melintasi garis bulatan itu.
Jin-jin itu datang bergilir-gilir. Dan akhirnya, datanglah raja jin yang sedang
menunggang seekor kuda dan disertai oleh satu angkatan pasukan yang besar. Raja
jin memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan bertanya kepada lelaki
itu, “Wahai manusia, apa keperluanmu berada di tempat ini?
Lelaki itu menjawab, “Aku disuruh oleh Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani agar bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani,
raja jin itu tiba-tiba turun dari kudanya dan mengecup tanah. Kemudian raja jin
itu duduk di atas tanah disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah
itu, ia menanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah
tentang anak perempuannya yang diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar
cerita tersebut, raja jin segera memerintahkan kepada pasukannya untuk mencari
jin yang telah berbuat salah tersebut. Beberapa waktu kemudian, jin yang membawa
anak perempuan laki-laki tadi dibawa ke hadapan raja jin beserta anak perempuan
yang dibawanya. Rupanya jin tersebut berasal dari negara Cina
Raja jin kemudian bertanya, “Kenapa engkau menculik
anak perempuan ini? Tidakkah engkau tahu bahwa dia berada di bawah naungan
al-Quthb?”
Jin dari negara Cina tersebut menjawab, bahwa dia
telah jatuh cinta dengan anak perempuan tersebut. Akhirnya, dengan segala
kebijaksanaannya, raja jin itu segera memerintahkan kepada bawahannya gar
segera mengembalikan anak perempuan tersebut kepada kedua orang tuanya dan
memerintahkan pula agar jin negara Cina itu dikenakan hukuman pancung kepala.
Lelaki itu pun bersyukur kepada Allah karena anak
perempuannya telah kembali. Namun ia heran, mengapa raja jin itu begitu menghormati
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Raja jin itu pun menjelaskan perihal sikapnya
tersebut, dengan mengatakan bahwa dengan izin Allah, Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani dapat melihat semua kelakuan jin-jin yang jahat hanya dari rumahnya.
Karena itu, mereka banyak yang menghindar dari beliau, dengan bersembunyi di
berbagi tempat yang menurut mereka aman. Allah telah menjadikan Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas
seluruh bangsa jin.”
Abu Najib as-Suhrawardi meriwayatkan bahwa beliau
sedang bersama Syaikh Hammad ad-Dabbas ketika Syaikh Abdul Qadir mengatakan
perkataan yang luar biasa. Hal ini terjadi pada tahun 523 H. mendengar ucapan
tersebut Syaikh Hammad berkata kepada beliau, “Abdul Qadir, engkau telah berbicara,
tidakkah engkau takut Allah akan menurunkan makarNya kepadamu.”
Syaikh Abdul Qadir menjawab pertanyaan tersebut dengan
meletakkan telapak tangannya ke dada Syaikh Hammad dan berkata, “Lihat apa yang
tertulis di telapak tanganku dengan mata hati anda."
Setelah hening sejenak Syaikh Abdul Qadir mengangkat
telapak tangannya dan Syaikh Hammad berkata,”Aku baca di telapak tangannya
bahwa dia telah mengambil 70 janji Allah dan salah satunya adalah dia (Syaikh
Abdul Qadir) tidak (dijaga) dari melakukan makar terhadap Allah. Teruskan, hal
tersebut adalah kemurahan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Allah maha Pemurah”.
Syaikh Abu Su’ud Abdullah, Muhammad al-Awwani dan Umar
aL-Bazzaz bersaksi bahwa dengan menjadikan dirinya sebagai jaminan Syaikh Abdul
Qadir menyatakan semua muridnya meninggal dalam keadaan bertobat dan 7 generasi
murid beliau dijamin masuk surga. Berkenaan dengan hal ini berliau berkata,
“Aku yang menanggung muridku dan muridnya muridku hingga 7 generasi. Jika ada
di antara muuridku yang akan dibukakan auratnya dan kami berada di ujung jarak
yang terpisah dia yang di timur dan aku yang di barat, maka aku akan menutupi
auratnya. Allah telah memerintahkan kepadaku untuk tidak menampakkan kesedihan di
depan para sahabat. Aku adalah keberuntungan bagi mereka yang pernah melihatku
dan aku juga adalah kerugian bagi mereka yang tidak pernah melihatku “’
Diriwayatkan oleh Syaikh Abi Umar Usman dan Syaikh Abu
Muhammad Abdul Haq al-Huraimy, bahwa pada hari ke-tiga bulan Safar, kami berada
bersama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang pada waktu itu kebetulan tengah
mengambil wudhu dan hendak memakai sepasang terompah. Setelah selesai
menunaikan shalat dua rakaat, beliau tiba-tiba berhenti dan melemparkan salah satu
dari terompah beliaudengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata.
Kemudian beliau melemparkan terompah yang satu lagi. Kami yang berada di situ
sangat heran melihat kejadian tersebut, namun tidak ada seorang pun yang berani
menanyakan maksud beliau tersebut.
Dua puluh tiga hari kemudian, sebuah kafilah telah
datang untuk bersilaturahmi kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Mereka (yakni
para anggota kafilah itu) datang denganmembawa berbagai macam hadiah untuk sang
Syaikh, termasuk baju, emas dan perak. Dan yang anehnya, termasuk juga sepasang
terompah. Kami pun mencoba untuk mengamati sepasang terompah tersebut. Kami
dengan penuh keyakinan meyakini bahwa sepasang terompah itu merupakan milik
Syaikh Abdul Qadir yang pernah digunakan oleh beliau. Kami kemudian bertanya
kepada kafilah tersebut, dari manakah mereka mendapatkan sepasang terompah
tersebut. Mereka kemudian bercerita:
“Pada hari ke-tiga di bulan Safar yang lalu, ketika
kami sedang di dalam satu perjalanan, kami diserang oleh segerombolan perompak.
Mereka merampas semua barang-barang kami dan membawa barang-barang yang mereka
rampas itu ke satu lembah untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Kami pun
segera bermusyawarah, kemudian sepakat untuk menyeru Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani agar menolong kami. Kami juga telah bernazar apabila kami selamat,
kami akan memberinya beberapa hadiah. Tiba-tiba kami mendengar suara jeritan
yang amat kuat, sehingga menggegerkan lembah yang berada di dekat kami. Kami
kemudian melihat sebuah benda yang melayang dengan sangat cepat dari langit.
Beberapa waktu kemudian, terdengar lagi bunyi yang sama dan kami lihat satu
lagi benda seperti yang pertama tadi sedang melayang ke arah yang sama.
Setelah itu, kami melihat perompak-perompak itu berlari tunggang-langgang dari
tempat mereka sedang membagi-bagi harta rampasan tersebut. Kami yang masih saja
keheranan segera menyelamatkan harta benda kami, dan segera pergi dari tempat
tersebut. Kami lihat kedua orang pemimpin perampok tadi telah mati. Di sisi
mereka ada sepasang terompah. Inilah terompah-terompah itu.”
Diriwayatkan, bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
tidak mau mengagungkan orang kaya dan berdiri karena datangnya seorang raja dan
juga tidak karena datangnya orang-orang yang memiliki kedudukan. Beliau seringkali
melihat seorang raja bermaksud menemuinya, padahal beliau sedang duduk-duduk
kemudian beliau tinggalkan, masuk ke kamar pribadinya. Setelah itu beliau
keluar lagi untuk menemui khalifah setelah sang khalifah duduk. Hal ini
dilakukan karena memuliakan para ahli tasawuf yang tidak tertarik oleh
kedudukan dan harta, serta tidak berdiri karena kedatangan raja. Lagipula,
beliau tidak mau berdiri di depan pintu-pintu raja atau menteri dan juga tidak
mau menerima hadiah dari raja, sehingga raja itu menggerutu atas penolakan
beliau.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada
sang raja, “Kalau begitu bawa sendiri hadiah itu ke sini (raja pun
menurutinya).” Kemudian ia membawa sendiri buah apel untuk Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Tiba-tiba apel itu penuh dengan darah dan nanah. Syaikh Abdul Qadir
kemudian berkata, “Mengapa raja selalu mencemoohkan dan melecehkan saya?
Padahal saya tidak mau memakan buah apel ini karena seluruhnya penuh darah
manusia.”
Akhirnya sang raja meminta maaf dan bertaubat di
hadapan Syaikh Abdul Qadir al-jailani. Selanjutnya raja itu sering mengunjungi
beliau sebagaimana kebanyakan orang yang menjadi sahabatnya sampai beliau
meninggal.
Syaikh Ali al-Qurasyi meriwayatkan bahawa Syaikh Abdul
Qadir pernah berkata, “Diberikan kepadaku sebuah catatan berisi nama para
sahabat dan nama para muridku hingga hari kiamat kemudian ada suara yang
berkata kepadaku, “Aku berikan mereka kepadamu.”
Diriwayatkan, bahwa salah satu kekaramahan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani adalah pakaian beliau yang tidak pernah dihinggapi lalat
karena mewarisi eyangnya yaitu Nabi Muhammad. Lalu ditanyakan kepada beliau apa
sebabnya. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kemudian menjawab, “Untuk apa lalat
hinggap pada diriku, yang pada diriku tidak ada tujuan untuk mendapatkan
kenikmatan dunia dan madunya akherat (melainkan hanya semata-mata ikhlas karena
Allah).”
Diriwayatkan pula, bahwa sebagian karamah Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani adalah suatu ketika beliau duduk mengambil air wudhu, beliau
terkena kotoran burung pipit. Lalu beliau mengangkat kepalanya maka jatuhlah
burung itu dan mati. Kemudian beliau melepas pakaiannya untuk dicuci, lalu
menyedekahkannya sebagai tebusan atas burung tersebut. Beliau kemudian berkata,
“Bila pada saya ada dosa, maka itulah sebagai tebusannya.”
Diriwayatkan oleh Sahal bin Abdullah at-Tastari, pada
suatu ketika penduduk Baghdad kehilangan Syaikh Abdul Qadir. Sebuah suara
kemudian memerintahkan mereka untuk mencarinya di sungai Dajlah. Sesampainya di
sungai tersebut, mereka melihat sang Syaikh sedang berjalan di atas air menuju
ke arah mereka dan seluruh makhluk di sungai tersebut maju menciumi tangan
beliau. Saat itu waktu salat Dzuhur telah tiba. Sekonyong-konyong munculah
sebuah sajadah hijau berhias emas dan perak bertuliskan (pada baris
pertama)
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S.
Yunus: 62).
Dan pada baris ke dua “ Salaamun ‘alaikum ahlal baiti
innahuu hamiidum majiid” membentang antara alngit dan bumi. Kemudian datanglah
serombongan orang hitam yang dipimpin oleh seorang dengan karisma dan
kewibawaan luar biasa, mereka menangis namun diam tidak bergerak bak diikat
dengan rantai Qudrah. Saat tiba waktunya menunaikan shalat, sang Syaikh menaiki
sajadah tersebut dan orang-orang tadi dan penduduk Baghdad shalat di belakang
beliau.
Saat beliau bertakbir, para pemikul ‘arsy juga ikut
bertakbir. Saat beliau bertasbih, para malaikat di tujuh langit juga ikut
bertasbih. Saat beliau mengucapkan hamdalah dari mulutnya keluar sinar hijau
yanga memenuhi ufuk. Selesai shalaat beliaua mengangkat ke dua tangannya dan
kami mendengar beliau berdo’a:
“Ya Allah demi kakekku Muhammad kekasih dan makhluk
pilihanMu serta kedua orang tuaku, aku memohon kepadamu agar semua muridku baik
pria maupun wanita meninggal dalam keadaan taubat.”
Saat itu kami mendengar kepakan para malaikat
mengamini beliau. Maka kami segera mengamini beliau. Setelah itu, sebuah suara
di atas berkata, “Bergembiralah Aku telah kabulkan permintaanmu.”
Para penghulu para Syaikh al-Hafidz Abdul Ghani dan
Syaikh Muwafaquddin bin Qudamah serta Syaikh Abdul Muluk bin Diyal meriwayatkan
bahwa Syaikh Abdul Qadir menyatakan bahwa orang yang mencintainya akan
mendapatkan kebahagiaan yang tidak terukur. Syaikh Abu Hasan al-Jusaqi
meriwayatkan pada suatu ketika Syaikh Ali al-Hitti dan Syaikh Baqa bin Bathu
sedang berada bersama Syaikh Abdul Qadir, beliau berkata, “Aku memiliki
kekuatan yang tidak tertandingi, kuda tercepat di setiap tempat, sultan di
setiap tentara yang tidak dapat dibantah, khalifah yang tidak akan turun dari
jabatannya.”
Syaikh Ali al-Hitti berkata, “Aku dan para pengikutku
adalah pelayanmu.”
Syaikh Daud al-Baghdadi meriwayatkan; pada tahun 458 H
beliau bertemu dengan Syaikh Ma’ruf al-Kharqi dalam mimpi dan dia berkata, “Yaa
Daud, ceritakan kisahmu yang kemudian akan aku ceritakan di hadapan
Allah.”
Syaikh Daud al-Baghdadi berkata, “Dan aku harus
mengesampingkan Syaikh-ku (Syaikh Abdul Qadir)?”
Syaikh Ma’ruf berkata, “Tidak, jangan pernah engkau
mengesampingkannya dan kami juga tidak mengesampingkannya.”
Setelah itu aku bangun dan pergi ke madrasahnya Syaikh
Abdul Qadir pada waktu sahur untuk mengabarkan hal tersebut. Baru saja aku
duduk di madrasah ketika beliau berkata kepadaku dari dalam ruangannya tanpa
sempat aku berbicara kepada beliau, “Daud, Syaikhmu tidak dikesampingkan dan
mereka juga tidak mengesampingkannya. Sekarang ceritakan kisahmu dan aku akan
sampaikan di hadapan Allah.” Akupun meyampaikan masalahku yang kemudian
solusinya diberikan oleh beliau.”
Al-Hafidz Muhammad bin Rafi’ dalam kitab Taarikhnya
meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’ad bin Muhammad bin Ghanim bin Abdullah bin
Tsa’labi aAr-Ruumi menyatakan pada tanggal 10 Dzul Qa’dah 639 H di Dar
al-Hadits, K”airo saat ditanya pendapatnya tentang al-Hallaj, Syaikh Abdul
Qadir berkata, Kesalahannya terlalu besar sehingga diputuskan dengan syari’at.”
Syaikh Umar al-Bazaar berkata, “Saat Husain al-Hallaj
tergelincir, tidak ada seorangpun yang mengulurkan tangan menolongnya pada saat
itu. Seandainya aku ada pada saat itu niscaya ia akan aku tolong. Orang-orang
yang menolong mereka yang tergelincir seperti dia adalah muridku, yang
mencintaiku dan sahabatnya hingga hari kiamat”.
Komentar Syaikh Abdul Qadir tentang al-Hallaj cukup
banyak dan terkumpul dalam kitab berjudul Daarul Jawaahir karangan Al-Hafidz
Abu Farrj al-Jauzi dan kitab Al-Bahjah fii manakib Syaikh Abdul Qadir Jailani
wa hal thabaqatihi minal auliya karya Syaikh Nuruddin Abu Hasan Ali
Al-Khammi.
Syaikh Abu Fath al-Harawi berkata, “Tidak ada
seorangpun yang mengulurkan tangannya kepada seorang Syaikh (berbai’at) yang
lebih beruntung daripada murid Syaikh Abdul Qadir. Kemudian beliau menyatakan
pernah mendengar Syaikh Abu Sa’id al-Qalyawi (dalam riwayat lain Syaikh Abu
Sa’ad) berkata, “Syaikh Abdul Qadir tidak akan meninggal dunia kecuali setelah
memastikan yang mengikutinya selamat.”
Syaikh Baqa’ bin Bathu berkata, “Aku melihat para
pengikut Syaikh Abdul Qadir bersama golongan orang-orang yang berbahagia.”
Diriwayatkan ketika ada orang yang berkata kepada
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, “Diantara muridnya ada yang berbuat baik dan ada
pula yang berbuat keburukan.”Beliau menjawab, “Kebaikan tersebut untukku
(pahalanya) sedangkan keburukan tersebut adalah tanggunganku.”
Syaikh Uday bin Abi Barakat Shakhr bin Shakhr bin
Musafir menyatakan ayahnya pernah bercerita ketika beliau menemui pamannya
Syaikh Uday bin Musafir tahun 454 H. di Zawiyahnya di daerah Jabar, beliau
berkata, “Setiap orang yang meminta bai’at dariku pasti aku kabulkan kecuali
para pengikut Syaikh Abdul Qadir. Mereka telah tenggelam dalam rahimnya.
Bagaimana mungkin ada orang yang mau meninggalkan lautan untuk pindah ke kanal
kecil.”
Syaikh Idris al-Ya’qubi berkata, “Pada suatu ketika
gurunya Syaikh Ali bin al-Hitti menggandeng tangannya dan menemui Syaikh Abdul
Qadir, kejadian tersebut terjadi pada tahun 550 H. sesampainya di hadapan sang
Syaikh beliau berkata, “Ini muridku”. Kemudian Syaikh Abdul Qadir membuka baju
yang dipakainya ketika itu dan memakaikannya kepadaku seraya berkata, “Ali,
sekarang engkau telah memakai pakaian keselamatan”. Sejak saat itu sampai 65
tahun aku memakainya tak pernah sekalipun aku menderita sakit”.
Syaikh Idris berkata kembali, “Aku juga pernah
menjumpai beliau tahun 560 H. Saat beliau menundukkan kepalanya, aku melihat
cahaya memancar dari beliau dan pada saat itu aku dapat melihat kondisi para
penghuni kubur, para Malaikat dan tingkatan-tingkatannya. Aku dapat
mendengarkan tasbih yang mereka lantunkan dalam berbagai bahasa dan aku dapat
membaca apa yang terlihat di dahi setiap orang. Kemudian tersingkaplah atasku
berbagai perkara luar biasa.
Sang Syaikh berkata kepadaku, “Ambil semua itu jangan
takut.”
Aku berkata kepada beliau, “Tuanku, aku takut menjadi
gila karenanya.”
Beliau lalu menepuk dadaku, sejak saat itu aku tidak
lagi takut apabila melihat pemandangan seperti itu. Sampai saaat ini aku masih
melihat dan mendengarkan tasbih mereka”.
Kemudian Syaikh Idris bercerita, “Saat aku pertama
tiba di Baghdad, aku tidak memiliki tempat kecuali madrasah beliau (Syaikh
Abdul Qadir). Ternyata pada saat itu tidak ada seorangpun yang ada di sana.
Sekonyong-konyong aku mendengar suara dari dalam kamarnya, “Yaa Abdurrozaq
(muridnya), keluar dan lihatlah siapa yang dating.”
Abdul Razaq keluar melihatku dan masuk kembali seraya
berkata, “Hanya seorang berkulit hitam.”
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Anak ini memiliki Sesuatu
yang luar biasa.”
Kemudian beliau keluar menemuiku dengan membawa roti
dan lauk pauk seraya berkata, “Kemarilah.”
Sebelum ini sekalipun aku tak pernah bertemu
dengannya. Aku berdiri dan menghampiri beliau. Sambil meletakkan roti dan lauk
pauk tersebut di kakiku, beliau berkata, “Semoga engkau bermanfaat (diucapkan
oleh beliau tiga kali) pada suatu saat nanti, orang akan berduyun-duyun
mendatangimu dan derajadmu akan menjadi tinggi.” Dan berkat doa beliau hal
tersebut menjadi kenyataan.
Syaikh Abdul Wahab berkata, “Ayahku (Syaikh Abdul
Qadir) berbicara di majelis pengajiannya 3 kali dalam seminggu. Pada pagi di
hari Jum’at, selepas Isya’ hari Selasa, dan di pagi minggu. Majelis tersebut
selalu dihadiri para Syaikh, ulama dan para sufi.
Beliau berceramah selama 40 tahun, dimulai pada tahun
521 H. dan berakhir pada tahun 561 H. adapun masa pemberian pengajaran dan
fatwanya berlangsung selama 33 tahun. Mulai dari tahun 528 H. dan berakhir pada
tahun 561 H. para muridnya selalu membaca kitab dengan benar. Termasuk yang
membaca kitab di pengajiannya adalah Mas’ud al-Hasyimi. Selama majelisnya
berlangsung tercatat 2 orang pria dan 3 orang wanita meninggal dunia. Ceramah
dan pengajaran beliau ditulis 400 orang alim dan awam. Dan dalam majelisnya,
beliau sering berjalan di udara kemudian kembali ke kursinya”.
Syaikh Umaar al-Kaimani bercerita :
“Majelis Syaikh Abdul Qadir tidak pernah sepi dari
orang-orang nasrani dan yahudi yang masuk Islam, dari taubatnya para perampok,
pembunuh, pelaku maksiat, dan yang tersesat. Pada suatu ketika seorang rahib
datang menemuinya dan masuk Islam. Kemudian ia bercerita, “Aku adalah penduduk
Yaman. Ketika Islam telah merasuki jiwaku, aku bertekad tidak akan masuk Islam
kecuali di tangan orang Yaman terbaik. Akupun mulai merenung, siapakah orang
itu. Di tengah perenungan tersebut aku tertidur, dan bermimpi bertemu Isa bin
Maryam. Beliau berkata kepadaku, “Orang tua, pergilah ke Baghdad dan temui
Syaikh Abdul Qadir karena ia adalah orang terbaik di muka bumi saat ini.”
Pada saat yang lain, 13 orang Narani datang ke majelis
pengajiannya dan masuk Islam. Kemudian juru bicara mereka berkata, “Kami ini
adalah kaum nasrani Arab, ketika kami ingin masuk Islam kami berselisih paham
tentang di tangan siapa kami harus masuk Islam. Tiba-tiba datanglah suara tanpa
wujud yang berkata kepada kami, “Wahai orang-orang yang beruntung, pergi ke Baghdad
dan bersyahadatlah di hadapan Syaikh Abdul Qadir karena beliau akan memasukkan
iman yang tak pernah dapat diberikan oleh selainnya saat ini di hati kalian.”
Pada tahun 558 H. di atas kursinya, Syaikh Abdul Qadir
berkata, “25 tahun aku hidup mengisolasi diri dan berkelana di padang-padang
Iraq. Dan selama 40 tahun aku melaksanakan shalat subuh dengan wudhu Isya’.
Selama itu, setelah melaksanakan shalat Isya’ aku berdiri di atas 1 kaki dengan
tangan di atas paku karena takut jatuh tertidur. Kemudian aku buka al-Qur’an
dan menamatkannya pada waktu sahur. Pernah suatu malam, aku berbaring di kasur
lalu nafsuku berkata kepadaku, “Andai engkau tidur satu jam saja.” Seketika aku
bangun, berdiri di atas satu kaki dan membuka al-Qur’an kemudian membacanya hingga
selesai dalam keadaan seperti itu.”
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Aku pernah tinggal di
suatu menara yang kini dinamai menara Ajmi selama 11 tahun. Di dalamnya aku
pernah bersumpah kepada Allah untuk tidak makan dan minum sampai aku disuapi
dan diberi minum. Sejak sumpah tersebut aku berada dalam kondisi tidak makan
dan tidak minum selama 40 hari. Pada hari ke 41, seorang pria datang dan
meletakkan makanan di hadapanku lalu pergi. Mellihat keinginan tersebut timbul
keinginan dalam hatiku untuk memakannya namun aku berkata dalam hati, “Demi
Allah aku tidak akan melanggar janjiku kepada Allah.” Lalu aku mendengar
teriakan perutku yang kelaparan namun aku tidak mepedulikannya.
Saat itu, Syaikh Abu Sa’id al-Makhzuumi lewat di
tempatku dan mendengar gemuruh perutku tersebut. Belliau masuk ke tempatku dan
bertanya, “Abdul Qadir Apa ini ?”.
“Ini adalah suara kegelisahan nafsu sedangkan roh
dalam kondisi tenang bersama Allah,’ jawabku.
“Datanglah ke Bab al-Azj,” Kata beliau kepadaku lalu
meninggalkanku.
Aku berkata dalam hati, “Aku tidak akan keluar dari
tempat ini kecuali dengan Allah.”
Setelah itu Khidir datang menemuiku dan berkata,
“Bangkit dan pergilah ke Abu Sa’id.”
Akupun pergi kepadanya dan aku mendapati beliau sedang
berdiri di depan pintu rumahnya menungguku.
Beliau berkata kepadaku, “Belum cukupkah perkataanku
tadi ?” Lalu beliau memakaikan jubah kesufian (tanda bai’at) kepadaku. Semenjak
saat itu aku mengikuti beliau.”
Dalam sebuah riwayat, Al-Jaba’i meriwayatkan bahwa
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepadanya, “Aku ingin tetap hidup di
padang pasir sehingga aku tidak pernah melihat orang atau dilihat orang. Namun
Allah menginginkan makhluk mengambil manfaat dariku. Di tanganku, lebih dari 5
ribu orang yahudi dan nasrani telah bertaubat, para perampok dan pendosa lebih
dari 100 ribu orang. Ini adalah suatu kebaikan yang besar.”
Syaikh Ibrahim ad-Daari meriwayatkan, “Jika Guru kami
Syaikh Abdul Qadir pergi ke masjid pada hari Jum’at, orang-orang berjejer di
pasar memintakan beliau mendo’akan hajat mereka baik secara terang-terangan
maupun dalam hati.
Pada suatu hari Jum’at beliau bersin dan dan sesaat
kemudian bergemuruhlah suara orang orang yang mendo’akan beliau, “Yarhamukallah
(Semoga Allah merahmati engkau).” Gemuruh suara tersebut terdengar sampai ke
masjid dan saat itu al-Mustanjid Billah, sang khalifah sedang berada di sana.
“Ada apa ini?” tanyanya.
“Syaikh Abdul Qadir bersin dan oraang-orang
mendo’akannya,” jawab seseorang kepada sang Khalifah.”
Ibnu Nuqthah as-Sairafini meriwayatkan :
Pada suatu ketika Syaikh Baqa, Syaikh Ali bin
al-Hitti, dan Syaikh al-Failawi berkunjung ke madrasah Syaikh Abdul Qadir.
Mereka menggosok-gosok dan membersihkan pintunya tanpa berani masuk ke dalam
tanpa ijin dari beliau. Ketika mereka masuk, Syaikh Abdul Qadir mempersilakan
mereka duduk. Mereka berkata kepada sang Syaikh, “Dan kami telah mendapatkan
keamanan.”
“Ya,” jawab sang Syaikh.
Diriwayatkan salah seorang yang hadir dalam majelisnya
selalu membentangkan alas ketika sang Syaikh bangkit dan berjalan. Beliau
kemudian melarangnya melakukan hal tersebut namun mereka malah berkata, “Dengan
cara inilah kami mendekatkan diri kepada Allah.”
Aku (As-Sairafani) juga sering melihat apabila para
syaikh Iraq datang mengunjungi beliau, mereka masuk ke madrasah beliau dan
mencium pintu beliau”.
Syaikh Baqiah Salaf Abu Ghanaim al-Bathiahi
meriwayatkan :
Seorang murid Syaikh Abdul Qadir datang mengunjungi
syaikh Utsman bin Marwazah al-Bathiahi. Sang Syaikh berkata kepadanya, “Anakku,
saat ini Syaikh Abdul Qadir adalah sebaik-baik makhluk di muka bumi”.
Dalam riwayat lainnya, Syaikh aL-Mu’ammar al-Jaradah
berkata, “Mataku ini tidak pernah melihat makhluk yang ketampan, kelapangan
dada kelembutan hati dan keteguhannya dalam memegang janji melebihi Syaikh
Abdul Qadir Jailani. Dengan ketinggian derajat dan posisi spiritual serta
kedalaman ilmunya beliau selalu berdiri di belakang yang kecil dan menghina
yang besar, beliau memulai salam dan bergaul dengan kaum lemah dan bersikap
tawadhu kepada golongan sufi fakir. Tidak pernah sekalipun beliau berdiri untuk
seorang pembesar, bangsawan dan tidak pernah sekalipun beliau merendahkan diri
di pintu para menteri dan sulthan”.
Al-Bathiahi bercerita pada suatu saat ketika aku
menghadap Syaikh Abdul Qadir. Aku menjumpai beliau menerima 4 orang yang belum
pernah aku lihat sebelumnya. Akupun diam di tempatku. Kemudian mereka berdiri
dan pamit. Sang Syaikh berkata kepadaku, “Kejar mereka dan mohon kepada mereka
untuk mendoakanmu.”
Aku susul mereka di halaman madrasah dan memoohon
mereka mendoakanku. Salah seorang mereka berkata kepadaku, “Bagimu kabar
gembira. Engkau mengabdi kepada seorang pria yang dengan berkahnya Allah jaga
bumi, baik dataran maupun pegunungannya. Darat maupun lautannya, dan dengan
doanya Allah turunkan rahmatNya kepada semua makhluk, baik yang baik maupun
yang buruk. Kami segenap para wali berada di dalam hembusan nafas, di bawah
bayangan kaki beliau dan kekuasaan beliau. Setelah itu mereka keluar dan
menghilang. Aku kembali kepada Syaikh Abdul Qadir dengan perasaan takjub.
Sebelum aku membuka mulut, beliau berkata kepadaku,
“Selama aku masih hidup, jangan engkau ceritakan apa yang mereka katakan kepada
orang lain.”
“Tuanku, siapa mereka?’ tanyaku kemudian.
Beliau berkata, “Mereka adalah para pemimpin gunung
Qaf, sekarang mereka sudah kembali ke tempat masing-masing.”
Muhammad bin Khidr meriwayatkan, ayahnya berkata
kepadanya , “Aku berkhidmad kepada Syaikh Abdul Qadir selama 13 tahun. Selama
itu tidak pernah sekalipun aku melihat beliau mendengus, meludah dan dihinggapi
lalat. Aku juga tidak pernah sekalipun melihat beliau berdiri demi menghormati
para pembesar atau merendah di depan pintunya, duduk di karpet dan makan
sajiannya kecuali beliau menganggap semua itu adalah hukuman yang didahulukan
untuknya.
Suatu saat ketika raja, para menteri dan petinggi
Negara mendatanginya beliau segera masuk ke ruangannya. Setelah mereka duduk
baru beliau keluar demi menghindari bangkit dari duduknya sebagai tanda
penghormatan bagi yang berkunjung. Beliau berbicara kepada mereka dengan keras
dan menasehati mereka. Mereka menciumi tangan beliau dan duduk di hadapan
beliau dengan penuh kerendahan diri dan khusyu’. Apabila beliau menulis surat
kepada khalifah, beliau berkata, “Dia memerintahkanmu untuk melakukan ini atau
perintah-Nya atasmu wajib diikuti, menaati –Nya adalah kewajiban bagimu, dan
Dia adalah penuntunmu.”
Begitu meneriam surat itu sang khalifah berkata,
“Benar apa yang diucapkan sang Syaikh.”
Mufti Iraq Syaikh Muhiyuddin Abdillah Muhammad bin
Hamid al-Baghdadi berkata, “Syaikh Abdul Qadir adalah seorang yang mudah
menangis, sangat kharismatik dan makbul doanya. Karismanya memancar dari
karakternya yang berbudi mulia, keturunannya yang terhormat, (beliau keturunan
ke 9 dari Rasulullah, sebagian ada ulama yang mengatakan ke-11). Beliau adalah
manusia yang paling jauh dari kejahatan dan paling sekat dengan kebenaran serta
sangat takut jika melanggar perintah Allah. Tidak pernah beliau marah karena
dirinya, dan tidak pernah beliau meminta pertolongan kecuali kepada Allah.
Beliau tidak pernah menolak para pengemis walaupun harus memberikan salah satu
dari dua baju yang dipakainya. Taufik adalah penunjuknya, inayah adalah
penolongnya, dan ilmu pendisiplinnya dan Al-Qarb (kedekatan) adalah gurunya.
Pengajian harta karunnya. Pengetahuan bentengnya, ceramah penasihatnya dan
waktu adalah dutanya. Manusia sahabatnya, kemudahan pengiringnya, kejujuran
panjinya, keterbukaan alatnya, kebijaksanaan bawahannya, zikir menterinya, dan
pikiran teman berrcakapnya. Mukasyafah (ketersingkapan) makanannya, dan
Musyahadah (penyaksian) obatnya. Adab syari’ah tampak luarnya, sedangkan
sifat-sifat hakikah rahasianya”.
Syaikh Musa bin Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata,
“Aku pernah mendengar ayahku bercerita.“Suatu saat aku berkelana di padang
pasir dan berhari-hari tidak mendapatkan air. Saat itu aku sedang sangat kehausan
tiba-tiba datanglah sebentuk awan menaungiku dan menurunkan sejenis embun
sehingga aku dapat minum darinya. Kemudian aku melihat cahaya memenuhi ufuk dan
mulai mewujud. Kemudian sebuah suara berkata kepadaku, “Ya Abdul Qadir aku
adalah tuhanmu, dan sekarang aku halalkan bagimu segala yang aku haramkan (atau
dalam riwayat lain redaksinya) segala yang aku haramkan bagi selainmu.”
Aku berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari syaitan
terlaknat.”
Seketika itu ternyata cahaya tersebut adalah suatu
kegelapan dan wujud yang ada hanyalah asap. Kemudian sebuah suara berkata
kepadaku, “Abdul Qadir engkau telah selamat dari godaanku dengan ilmumu, hukum
Tuhanmu dan kedalaman pengetahuanmu akan kondisi kedudukanmu. Dengan tipuan
yang sama aku telah mengecoh lebih dari 70 orang wali thariqah.
“Milik Tuhan segala keutamaan dan kekuatan,” Jawabku.
Diriwayatkan pula, “Bagaimana engkau dapat mengetahui
sesuatu itu adalah setan ?” Tanya seseorang yang mendengar cerita tersebut
kepadanya. Beliau menjawab, “Dari perkataannya “aku halalkan bagimu segala yang
haram”. Padahal aku telah mengetahui bahwa Allah tidak pernah memerintahkan
kejelekan.”
Syaikh Ali bin Idris al-Ya’qubi meriwayatkan suatu
ketika Syaikh Ali bin al-Hitti ditanya tentang thariqah (jalan) Syaikh Abdul
Qadir. Beliau berkata, “thariqahnya diawali daengan penerimaan total akan
ketidakkuasaan diri. Thariqahnya adalah tauhid semata sebagai hamba Allah”.
Syaikh Uday bin Barakat Shakr bin Shakr bin Musafir
bercerita bahwa ia pernah mendengar ayahnya bertanya kepada pamannya Syaikh
Uday bin Musafir, “bagaimana thariqah Syaikh Abdul Qadir ?” beliau menjawab,
“Menghilang mengikuti aliran taqdir dengan menyatukan antara hati dengan roh
serta memadukan antara yang zahir dengan yang bathin dan menyucikannya dari
sifat-sifat nafsu yang disertai dengan tidak lagi melihat kepada manfaat atau
bahaya kedekatan atau kejauhan.”
Khalil bin Ahmad Sharshar meriwayatkan bahwa beliau
pernah mendengar Syaikh Baqa’ bin Bathu berkata, thariqah Syaikh Abdul Qadir
adalah persatuan antara perkataan dan perbuatan, perpaduan antara nafs, waktu,
mencintai keikhlasan dan kepasrahan dan selalu menyesuaikan setiap langkah,
pandangan, yang akan datang maupun yang saat ini dengan kitab dan sunah serta
teguh bersama Allah.”
Syaikh aL-Mudzafar Mansur bin mubarak al-Wasithi yang
dikenal dengan julukan al-Jadadah bercerita, “Pada suatu ketika aku dan
beberapa sahabat menghadap Syaikh Abdul Qadir. Ketika itu aku membawa sebuah
buku yang mengandung filsafat dan ilmu rohani. Saat kami menghadapnya, beliau
langsung berkata kepadaku, “Bukumu ini adalah seburuk-buruk teman. Sekarang
keluar dan cuci buku tersebut.”
Pada saat itu aku berniat melontarkan pertanyaan
kepada beliau tentang sesuatu hal tetapi karena ketakutanku kepada Syaikh aku
batal melakukannya. Aku juga tidak ingin mencuci kitab tersebut karena sayangku
kepada kitab tersebut dan adanya suatu persoalan dalam kitab tersebut yang
mengganjal hatiku.
Saat aku ingin berdiri, sang Syaikh memandangiku bagai
orang takjub dan aku tidak dapat bangkit dari tempat dudukku.
“Kemarikan kitab tersebut,” pinta beliau
kepadaku.
Akupun membuka kitab tersebut dan mendapatinya hanya
berupa halaman kosong tanpa satu huruf pun, kemudian aku serahkan kitab
tersebut kepada beliau. Beliau terima kitab tersebut dan membolak baliknya
kemudian berkata, “Ini kitab tentang fadhilah (keutamaan) Al-Qur’an karya Ibni
Dharis Muhammad yang ditulis dengan indah”. Dan saat beliau mengembalikannya
buku tersebut kepadaku, buku tersebut telah menjadi karya Ibnu Dharis yang
ditulis dengan indah. Kemudian beliau berkata kepadaku, “Apakah engkau akan bertaubat
karena mengatakan perkataan yang berlawanan dengan apa yang ada dalam hatimu?”
“Benar Tuanku,” Jawabku.
“Kalau demikian halnya, berdirilah,” Ujar Syaikh Abdul
Qadir.
Ketika aku berdiri, aku baru menyadari bahwa aku telah
melupakan pengetahuan tentang filsafat hukum roh sampai seakan-akan ilmu
tersebut belum pernah aku ketahui sebelumnya.”
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Ketika Syaikh
Abdul Qadir duduk di atas bantal pada suatu waktu seseorang berkata kepadanya,
“si fulan –sambil menyebut sebuah nama yang masyhur pada saat itu dengan
karamah, ibadah, khalwat dan zuhud, serta ketaatan telah berkata, “Aku telah
melewati maqam Nabi Yunus bin Mata”
Mendengar hal tersebut beliau menegakkan duduknya dan
kemarahannya terbayang jelas di wajah beliau. Sambil melemparkan bantal tempat
duduk, beliau berkata, “Hatinya telah tergelincir.” Mendengar hal tersebut
kamipun menemui orang tersebut dan mendapatinya telah meninggal dunia mendadak,
tanpa ada sakit sebelumnya.
Setelah itu aku berjumpa dengannya dalam mimpi dengan
rupa yang menawan. “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?” Tanyaku kepadanya
ketika itu.
“Allah telah mengampuniku dan merelakan perkataanku
terhadap Nabi Yunus bin Matta. Syaikh Abdul Qadir lah penyelamatku dari Allah
dan Yunus bin Matta. Karena berkahnya aku mendapatkan kebajikan yang sangat
banyak.”
Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Ali al-Bathiahi
ar-Rafi’i bercerita, “ketika aku mengunjungi Baghdad, aku menghadiri pengajian
Syaikh Abdul Qadir. Saat itu aku melihat kondisi kekosongan jiwa dan kemudian
sirr/rahasianya yang membuatku takjub. Setibanya di Umm Ubadah aku menyampaikan
apa yang aku lihat kepada pamanku Syaikh Ahmad. Beliau berkata, “Siapa yang
mampu menandingi kekuatan, kondisi spiritual dan apa yang dicapai oleh Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani ?”.
Abu Muhammad Al-Hasan menyatakan dirinya pernah
mendengar Syaikh Ali Al-Quraisyi berkata kepada seseorang, “Jika engkau
berjumpa dengan Syaikh Abdul Qadir maka engkau akan mendapati seseorang yang
kekuatannya meniti jalan menuju Allah telah mencapai puncak, beliau termasuk
sesepuh mereka yang menempuh jalan kesusahan dan kesungguhan. Thariqahnya
adalah ketauhidan mutlak baik sifat dan aturannya. Dikuatkan dengan syariah
baik yang lahir maupun yang bathin. Karakteristiknya adalah kekosongan jiwa,
leburnya segala sesuatu dan munculnya musyahadah rabb dengan jiwa tanpa
keraguan. Sirr/rahasia qalbu tanpa tanding dan hati yang selalu berkembang
membuat beliau mampu mengacuhkan kerajaan paling besar dan menjadikan raja
terbesar berada di bawah telapak kakinya.
Syaikh Muhammad Sanbaqi berkata, “Aku pernah mendengar
guruku Syaikh Abu Bakar bin Hawwar berkata, ‘Wali autad iraq ada 8 orang;
Syaikh Ma’ruf al-Kurkhi, Imam Ahmad bin Hanbal, Basyar al-Hafi, Mansur bin
Amar, al-Junaid, as-Sirra (As-Saqti), Sahal bin Abdullah at-Tustari, dan Abdul
Qadir al-Jailani’. ‘Siapa Abdul Qadir’ tanyaku kepada beliau.
Jawab beliau, “Dia adalah seorang ‘ajam keturunan
Rasulullah (syarif) tinggal di Baghdad dan muncul pada abad ke lima H beliau
adalah salah seorang golongan Shiddiq, autad, afrad, ‘ayan, ad-dunya dan qutb
az-zaman.”
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Suatu ketika saat aku
duduk di atas kursi (mengajar) aku melihat Rasulullah bersama Musa di
udara.
“Musa, adakah diantara umatmu ada seseorang seperti
ini ?” tanya Rasululah.
“tidak,” Jawab Musa.
Kemudian Rasulullah bersabda kepadaku, “Abdul Qadir
kemarilah.”
Kemudian Rasulullah memeluk aku dan memakaikan jubah
kebesaran yang beliau kenakan seraya berkata, “Ini adalah jubah kebesaran bagi
para rijal (al-ghaib) dan abdal.”
Lalu beliau meniup 3 kali ke dalam mulutku dan
kemudian mengembalikanku ke atas mimbar.”
Sumber : http://www.majeliswalisongo.com/2016/02/karomah-syaikh-abdul-qadir-al-jailani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tolong tinggalkan komentar.. okey!!!